Salah satu pertanyaan yang suka membuat saya senyum adalah, “Pak, kok tim saya itu sulit diatur yah? Ada yang pembangkang. Bahkan yang lebih ngga enaknya, setiap kali kita menetapkan aturan, biasanya berjalan ga lama. Cuma sebulan deh. Habis itu balik lagi”.

Pertanyaan ini membawa saya ke masa lalu. Saat saya baru pertama kali menjadi atasan. Nyawa dan keluarga puluhan orang berada di tangan saya. Sebagai atasan yang bagus, tentu saja saya harus tegas. Dengan sejuta niat baik, saya memerintah dan mengatur. Dengan posisi saya sebagai atasan tentu saja saya berhak memerintah dan bawahan saya harus menurut. Kalau tidak nurut, ya ga usah kerja. Kalau ga bisa diatur, lebih bagus keluar aja.

Niat saya baik, sungguh baik. Namun entah kenapa sepertinya bawahan-bawahan saya suka males. Ga ada inisiatif. Tidak mencintai pekerjaan. Tidak ada loyalitas. Konflik sering terjadi. Suasana lumayan panas. Saat ada saya saja kerja mereka memble, apalagi saat nggak ada saya. Anda mengalami hal yang sama?

Padahal rasanya tidak ada atasan yang sesempurna saya. Saya mau mencoba mengerti, mau mendengarkan, kurang apalagi sih? Saya bekerja keras. Jauh lebih keras daripada orang lain.

Cukup lama saya mengalami ini. Sepertinya tidak ada jalan lain, kecuali lebih tegas & lebih disiplin. Buat peraturan lebih banyak. Kalau sudah diberikan aturan, mau neko-neko bagaimana lagi? Berani melanggar? Silakan, asal siap dapat sangsinya. Saya sendiri memberikan contoh disiplin. Saya sendiri menjalani.

Apalagi saya mendapatkan masukan, “Tidak ada atasan yang bisa menjadi favorit sekaligus efektif. Kalau atasan itu favorit, pasti tidak efektif. Kalau mau efektif, dijamin tidak favorit”. Busyet deh, pas banget nih. Kayanya pas banget dengan situasi saya.

Sampai suatu hari saya berjalan-jalan ke Philiphine dan menemukan buku, “The Power Of A Positive No”. Bagaimana cara bilang “No” pada sikap karyawan yang neko-neko dan tujuan saya tercapai.

Di situ saya kaget, ternyata cara saya selama ini jauh dari benar. Pantas saja tim saya suka melawan. Pantas saja mereka suka iya di depan saya, namun di belakang saya hasilnya beda.

Ternyata selama ini saya bisa memerintah karena status saya “BOS”. Karena saya merasa posisi saya lebih tinggi. Izinkan saya memberikan masukan, ini bukan hanya terjadi kepada seorang bos atau seorang manager, namun juga pada seorang guru, team leader, atau siapapun. Di saat kita naik pangkat, ternyata EGO kita ikut naik juga.

Gawat! Gimana cara mengatasinya? Bersambung….

 

 

Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:

Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com