Balada Si Alexandre Christie

Jam Alexandre Christie

Ah, saya selalu langganan naik salah satu maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Karena sejauh ini memang maskapai itu yang paling on time. Hari itu saya buru-buru mau berangkat ke airport. Karena buru-buru, hampir saja sarung tangan saya ketinggalan. Supaya cepat, saya masukin ke laci depan koper saya. Laci ini memang tidak digembok.

Hari itu juga hari yang unik, karena saya akan naik sepeda motor setibanya di Jakarta. Saya senang naik sepeda motor, namun tangan saya selalu luka terkena gesekan stang motor. Maka saya harus pakai sarung tangan, kalau tidak pasti kulit saya terkelupas dan berdarah.

Nasib apes, sarung tangan itu hilang! Saya langsung lapor kehilangannya lewat telepon hotline. Saya juga lapor lewat email. Syukurlah, kehilangan itu ditangani dengan baik. Pihak maskapai minta maaf, dan bahkan saya ditunggu di Cengkareng. Begitu mendarat, salah satu wakilnya langsung menghampiri saya.

Kami duduk ngobrol. Lalu saya diberikan surat permohonan maaf dan penjelasan bahwa memang sarung tangan saya tidak bisa ditemukan. Lalu saya diberikan sebuah gift sebagai bentuk service recovery. Saya diberikan sebuah jam tangan Alexandre Christie. Sebuah jam minimalis berwarna hitam.

Saya lega dengan usaha dari mereka, namun apakah saya senang? Mohon maaf, namun saya belum senang. Sampai sekarang jam tangannya belum saya pakai sama sekali. Tersimpan saja di lemari. Saya masih memakai jam tangan lama yang sudah lecet sana-sini.

Jam tangan adalah sesuatu yang sangat pribadi. Sesuatu yang kalau warnanya beda sedikit, atau bentuknya beda sedikit, atau motifnya beda sedikit, kita gak akan sreg. Itu adalah sesuatu yang menempel di tangan kita dalam waktu yang lama.

Lagipula, saya suka dengan jam tangan yang ada angka dan jarumnya. Jadi ada analog & digitalnya sekaligus. Saat saya diberikan jam tangan yang bahkan kalendernya pun tidak ada, saya nggak akan suka. Saya gak akan menghargai.

Nah, sering kali di saat kita memberi service recovery, kita hanya memberi apa yang enak di kita. Bukan apa yang enak di customer. Padahal definisi service adalah, “Mengambil tindakan untuk memberi manfaat bagi orang lain.”

Bila orang lain tidak mendapat manfaat dari hadiah kita, dan malah kecewa, itu bukan service. Itu namanya memaksakan ego.

Apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa bertanya pada client, apa yang mereka suka? Apa yang mereka hargai?

Pihak maskapai sebenarnya bisa bertanya pada saya, “Pak Ronald, kami melihat anda nanti akan terbang ke Sydney pada bulan April. Sebagai bentuk permohonan maaf kami, bapak bisa di-upgrade ke First Class untuk penerbangan pulang pergi. Atau mungkin bapak boleh kami berikan voucher senilai Rp.xxx, sehingga bapak bisa berbelanja di in-flight shop kami. Mana yang bapak lebih suka?”

Saya pasti akan langsung menyeringai tersenyum. Pilihan upgrade ke business class boleh dibilang cost-nya hampir tidak ada untuk mereka. Apalagi kalau memang seat tersebut lebih sering kosong. Ini akan menyenangkan hati saya. Mungkin saya juga bisa menerima voucher senilai jam tangan tersebut. Sehingga bisa berbelanja barang apapun yang saya suka.

Bila ditanya bagaimana tingkat kepuasan saya setelah diberikan jam tangan… jujur.. hampir tidak puas sama sekali. Saya merasa tidak diperhatikan. Bila saya dari awal diberikan pilihan service recovery, maka saya akan dengan senang hati menjadi brand ambassador mereka.

Jadi….  saat anda memberikan hadiah pada customer, siapa yang sebenarnya suka dengan hadiah itu? Anda atau customer?

Salam Dahsyat!

Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:

Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com