Business atau Economy?

Hendrik Ronald Business atau Economy?

“Bro, bagaimana kalau kita angkat saudara aja?”, kata saya. “Ya, dari dulu loe memang sudah gua anggap begitu”, kata teman baik sekaligus saudara saya, Andry.

“Bukan begitu, bukan cuma begitu. Maksud gua ya benar-benar saudara!” Kalau yang biasa nonton film kungfu atau film China bakalan tau maksud saya. Artinya sampai mati, mereka benar-benar jadi saudara. Seperti saudara kandung. Biasanya diresmikan dengan sama-sama sembahyang di depan altar dewa atau mengucapkan janji.

Saudara saya yang satu ini memang gak pantas dibilang baik. Beliau sangat baik sekali. Pagi ini saya take off jam 8.30 pagi. Artinya jam 6.30 saya harus jalan ke airport dari rumah dia. Saya nggak diizinkan naik taxi. Saya harus, kudu, wajib diantarkan sama dia.

Maka saya membuat tanda salib di keningnya, sebagai tanda persaudaraan kami. Setelah lebih dari 22 tahun bersahabat baik, resmilah kami menjadi saudara!!

Saya SENANG SEKALI!!! LUAR BIASA SENANG!!!

Ah, berikutnya tinggal duduk di ruang check in khusus business class. Namun wanita yang menguruskan tiket saya, tiba-tiba berbisik dari jauh. Gerakan mulutnya mengatakan, “Economy.”

Waks! Saya langsung heran. Beliau ngasih tau, bahwa tiket saya masih kelas ekonomi. Saya bingung dan menjelaskan bahwa tiketnya sudah Business.

Setelah mondar-mandir kiri-kanan depan-belakang atas-bawah utara-selatan barat-timur, tantangan itu selesai juga, fiuh! Namun tiba-tiba saya mendengar, “Pak, kami mohon maaf. Bapak kan pesan ‘Seafood Meal’. Makanan itu tadi sudah diatur untuk kelas economy. Jadi walaupun bapak duduknya di business, makanannya tetap pakai yang economy class yah.”

“Excuse me?!?” Tanya saya sabar, lalu ngomong pelan, “Bantuin saya yah. Bantu urusin. Saya yakin kamu pasti bisa.” Petugasnya tersenyum balik ke saya dan saat itu saya tau bahwa dia akan membantu saya.

Saat seperti ini, anda bisa teriak dan marah-marah. Lalu bisa menunjuk kesalahan ke maskapai. Maskapai juga bisa balik teriak dan nunjuk bahwa anda yang salah. Namun daripada seperti itu, lebih bagus sabar dan ‘kasih muka’ kan?

Banyak yang menyangka service excellence itu gampang. Namun saat urutannya terbalik, customer bisa stress tanpa perlu stress. Sama seperti urutan nomor telepon yang tidak boleh terbalik. 0812 – 999 999 dan 0821 – 999 999 tentu saja hasilnya beda!

Begitu juga dengan service. Selesaikan dulu masalahnya. Kalau sudah selesai baru jelaskan ke customer kenapa masalahnya sampai terjadi. Jangan sampai kasih masalah tanpa solusi ke customer. 

Starbucks latte

Nobody does better LATTE than Starbucks (gak ada yang bikin Latte lebih baik daripada Starbucks). Di Starbucks, LATTE berarti:

L – Listen (Dengar masalah yang diakui customer)

A – Acknowledge (Akui permasalahan itu dan mengerti perasaan customer)

T – Take Action (Ambil tindakan untuk menyelesaikan masalahnya)

T – Thank (Ucapkan terima kasih)

E – Explain (Jelaskan kenapa masalahnya bisa terjadi)

Jadi sekali lagi karena penting, jangan kasih masalah tanpa solusi ke customer yah. Kalau mau kasih masalah, pastikan alternatif sudah ada solusinya. Solusi yang manis dan pasti bikin customer tersenyum.

Karena sebenarnya nasib usaha kita tergantung pada suasana hati customer kan?

Salam Dahsyat!!

Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:

Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com