Waktu itu saya baru saja pulang beribadah. Semua mobil sedang berhenti karena lampu merah sedang menyala. Mobil saya baru saja keluar dari sebuah gang kecil. Namun ada mobil yang merasa tersinggung karena ‘kepala’ mobil saya menghalangi jalurnya. Bukannya antri, beliau nekad menabrakkan mobilnya ke mobil saya. Seolah-olah puas setelah menabrak, dia kembali memundurkan mobilnya.

Saya turun dan melihat kondisi mobil saya. Kali ini dia melakukan hal yang lebih keterlaluan lagi. Dia menabrak saya yang sedang memeriksa keadaan mobil. Saya bahkan terjepit di antara 2 mobil. Lebih parah lagi, punuk kaki saya berada di bawah ban mobil dia.

Rasanya jangan ditanya, so pasti lumayan!

Kesal? Sudah pasti! Memang luar biasa bapak pengemudi yang satu ini, bukannya mundur supaya saya bisa terlepas, dia malah memajukan mobilnya untuk semakin menghimpit saya dan menggiling kaki saya. Syukur akhirnya punuk kaki saya terlepas dari gilingan ban mobil.

Setelah terlepas, untuk melindungi diri dari terhimpit, saya naik ke atas kap mobil bapak ini. Berusaha menahan emosi, saya menghentakkan kaki saya di atas kap mobilnya. Itu masih termasuk menahan emosi, karena waktu itu jujur saja, saya ingin sekali menendang kaca mobilnya.

Singkat cerita, masalah itu diselesaikan oleh kakak dan ibu saya yang memang berada di dalam mobil. Bagian yang paling seru? Saya malah tidak boleh berbicara, tidak didengarkan, dan dilabel sebagai orang yang tidak bisa menahan emosi. Tidak boleh membela diri. Ini melanggar kebutuhan dasar manusia, karena setiap orang ingin didengar dan dimengerti.

Muantep!!!! Jujur, rasanya muanteppp buanget setelah mengalami semua itu!

Tidak terima dengan label sebagai orang yang pemarah, saya membuktikan diri. Sewaktu saya berkuliah di Singapore, saya hampir tidak pernah marah sama sekali. Saya menjadi sangat tenang.

Beberapa waktu kemudian, saya pulang ke kota saya. Di situ saya bertemu dengan seorang pastor. Saya lalu bertanya kenapa seseorang itu bisa marah. Beliau menjawab, “Sebenarnya emosi itu datang dari kesombongan”.

Jawaban beliau yang singkat dan hanya 1 kalimat ini membuat saya berpikir sepanjang jalan.

Benar, ternyata kita marah karena kita merasa kita tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kita tidak terima. Kita merasa kita lebih hebat, lebih kuat, lebih pintar, lebih terhormat, lebih tua dan segala lebih lainnya.

Kita merasa orang yang kita marahi ini tidak profesional, tidak pintar, tidak sabar, lebih kecil, lebih muda, tidak teliti, dll.

Kita merasa tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Seharusnya bisa lebih baik. Akhirnya kita emosi. Karena ada bibit kesombongan dan kurangnya kerendahan hati kita.

Dalam kunjungan saya ke Yogya, saya mendengar kisah bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono pernah naik sepeda ingin masuk ke gerbang kraton. Namun sang penjaga yang tidak mengenali Sang Sultan, dengan kasarnya mengusir beliau dan mengatakan bahwa beliau tidak boleh lewat. Sang Sultan dengan sabarnya beranjak pergi untuk lewat jalan lain. Akhirnya sang pengawal tau juga bahwa orang yang diusirnya adalah rajanya, setelah diberi tau oleh temannya.

Sang Sultan begitu rendah hati. Memang si penjaga hanya menjalankan tugas, namun bagaimana kira-kira perasaan sang penjaga karena telah mengusir rajanya?

Kesombongan adalah kunci dari emosi.

“Pak Ronald, bagaimana cara mengatasi emosi? Saya itu orangnya emosian”. Ini salah satu pertanyaan yang paling sering ditujukan ke saya. Di dunia sekarang ini, begitu banyak emosi yang seliweran dan nyamber ke mana-mana.

Cara mengatasi emosi? Segera jauhi sumber emosi, tarik nafas yang dalam, angkat kepala anda, paksa diri anda untuk tersenyum, lalu ucapkan dengan tulus, “Oh yes…. Terima kasih, Ya Tuhan… terima kasih, Ya Allah…”. Lakukan beberapa kali, dijamin langsung ampuh.

Bagaimana kalau setiap hari anda menemui sumber kemarahan yang selalu ada dan itu-itu saja? Caranya simpel, kalau anda tidak bisa mengubahnya, jauhi sumber kemarahan itu. Simpel, tapi berapa banyak orang yang mau melakukannya?   ^____^

Salam DAHSYAT!!!

 

Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:

Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com