Apa Sebenarnya Yang Mendorong Keputusan Kita?

Siang hari di taman

Hari panas, matahari terik. Tidak ada awan di langit. Angin yang bertiup tidak cukup kencang untuk menghilangkan keringat yang bercucuran. Keringat Andrew sudah membasahi baju. Lebih kasihan lagi melihat Tommy kecil yang memegang tangan papanya. Rambutnya sudah basah kuyup, dan jelas kelihatan dia sudah lemas kepanasan.

Siang itu mereka berjalan di tepi taman. Tidak banyak orang yang berjalan di sana jam 2 siang. Sekilas kelihatan sebuah gerobak kecil warna-warni di depan. Mata Tommy kecil memicing memastikan apa yang dia lihat di ujung taman, pas di tepi jalan. Ternyata benar, itu gerobak es krim.

Penuh semangat Tommy meminta es krim ke papanya. Andrew tidak punya hati untuk menolak anaknya. Lagipula rasanya es krim memang hadiah yang paling pas untuk siang hari itu. Maka mereka mendekati gerobak es krim itu. Tommy kecil senang sekali. Dia mulai berlari kecil mendekati gerobak es krim.

Andrew melihat uang di dompetnya. Tidak banyak yang tersisa di sana. Dia menelan ludahnya lalu kembali melihat Tommy yang sudah dengan penuh semangat berdiri di samping gerobak es krim. Dia tidak punya hati untuk menolak Tommy. Maka dia memberikan lembaran uang terakhirnya ke tukang es krim. Cuma cukup untuk satu es krim saja, untuk Tommy. Walaupun sangat haus, namun Andrew memutuskan untuk nanti berbagi saja dengan Tommy.

Tommy menerima es krimnya dengan sangat senang. Dia menjilat es krimnya, lalu sebagai rasa terima kasih dia memeluk papanya. Andrew senang bisa membelikan es krim. Namun tiba-tiba terdengar suara ‘ceplak’. Ternyata es krim itu tumpah jatuh ke lantai. Tommy kecil terlihat kecewa karena yang ada di tangannya hanyalah cone es krim. Air matapun mulai menetes di matanya. Andrew juga ikut sedih karena dia sudah tidak punya uang untuk membelikan es krim lagi.

Tommy kecil melihat ke papanya. Papanya tertunduk. Lalu pandangan Andrew beralih ke penjual es krim. Tommy juga ikut memandang ke si penjual es krim. Wajahnya merasa iba namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kelihatan muka si penjual merasa bersalah, dia mengangkat bahunya pelan.

Andrew akhirnya terpaksa mendiamkan Tommy kecil yang menangis karena es krimnya jatuh. Yang lebih perih daripada itu, dia merasa tidak berdaya sebagai seorang ayah. Membelikan es krim untuk anakpun tidak bisa.

Kenapa sang penjual tidak mau menggantikan es krimnya yang jatuh? Kenapa dia begitu perhitungan untuk 1 sekop es krim saja? Es krim yang mau dihitung stok-nya pun pasti susah. Jadi pasti tidak ketahuan kalau menggantikan 1 sekop baru.

Kenapa perusahaan es krim besar itu begitu pelit hanya dengan satu sekop es krim saja? Kenapa dia tega melihat Tommy kecil menangis dan pergi? Tidakkah mereka tau bahwa Andrew tidak akan mau lagi beli es krim mereka?

Andrew and Tommy

 

Mari kita tinggalkan Andrew dan Tommy sebentar…

Kita melayang ke pagi hari jam 10. Di mana John dimarahi oleh supervisornya, “Kamu itu mau kerja gak sih? Kerja serius gak sih? Pernah gak sih diajarin, waktu itu duit!

John hanya bisa terdiam. Memang hari itu dia telat 7 menit karena motornya tiba-tiba mogok. Namun tidak bijaksana untuk ngomong saat atasannya sedang ngamuk.

Tau gak berapa banyak kamu sudah merugikan perusahaan ini? Kamu baru datang sekarang, lalu saya harus marahin kamu,” lanjut sang supervisor. “Nanti kamu harus ganti baju dulu, baru siapin gerobak. 1 jam terbuang percuma! Sudah berapa es krim yang bisa terjual selama 1 jam itu? Kalau kamu bisa jual 10 saja selama 1 jam, kamu sudah membuang Rp.120.000,- sia-sia!”

Maaf pak,” kata John pelan.

Maaf sih maaf, tapi kamu nggak akan bisa ngembaliin uang yang sudah hilang. Kesempatan yang sudah hilang. Kamu mau mengganti uang itu, hah? Itu kepala dipakai gak sih?”, muka sang supervisor marah.

Kata-kata itu mengiang-ngiang terus di kepala Jono. Siang itu dunia serasa tidak kompak dengannya. Panas matahari bersinar terik, namun tidak ada yang membeli es krim. Dari tadi John belum menjual satupun.

ice cream cart

Saat Tommy kecil menghampiri gerobaknya, John senang. Akhirnya ada pembeli juga. Cuma satu, namun lebih baik daripada tidak sama sekali. Dia bisa melihat uang di saku Andrew yang cuma tinggal Rp.15.000. Dia mengembalikan Rp.3.000 yang segera dimasukkan Andrew ke dompet kosongnya.

Saat melihat es krim Tommy kecil yang terjatuh, jantungnya berdegup. Dia ikut kasihan. Dia bisa melihat betapa Tommy menginginkan es krimnya. Lagipula es itu jatuh bukan karena Tommy ceroboh, namun karena dia memeluk papanya ingin mengucapkan terima kasih. Dunia serasa tidak adil, kenapa anak yang berterima kasih malah kehilangan es krimnya.

Sekuat hati John ingin menggantikan es krim itu, namun yang berdenging di telinganya adalah, “Kamu mau mengganti uang itu, hah? Itu kepala dipakai gak sih?”. Yang terbayang adalah muka supervisornya yang memerah karena marah. Urat mukanya yang menonjol keluar karena mengamuk.

Sumpah mati dia takut mau menggantikan es krim itu. Bagaimana kalau supervisornya pas lewat dan melihat dia memberikan es krim gratis? Maka secara tidak sadar bahunya terangkat.

Dadanya sesak melihat sang bapak menenangkan anaknya yang menangis karena es krimnya hilang. Tangannya gemetar dan giginya mengeram. Dia frustasi dengan perusahaan ini. Perusahaan ini kan jualan es krim, harusnya bisa mengerti perasaaan anak-anak yang kehilangan es krimnya. Air matanya menetes jatuh ke tangannya yang gemetar kesal. Kesal karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Mari kita tinggalkan John dan gerobak es krimnya…..

Mari kita menuju ke kantor es krim terkenal itu. Di ruang tamu, tergantung tulisan visi misi yang sudah berdebu dan kusam. Tulisan yang tidak pernah lagi diperhatikan. Tulisan yang tidak pernah lagi dibaca oleh siapapun.

Dusty vision statement

Di situ tertulis visinya, “Manufaktur dan distribusi es krim regional terbaik yang menjadi tonggak benchmark para kompetitor di wilayah distribusinya, memberikan continuous service improvement bagi konsumen internal, eskternal, dan para vendor. Serta memberikan dividen dengan continual growth bagi para stock holder

Tulisan yang menjadi cita-cita ideal bagi pendirinya. Tulisan yang hanya bisa dimengerti oleh pendirinya dan orang-orang yang mau mengeryit cukup lama untuk bisa mengerti apa maksudnya.

Boro-boro bisa mewujudkannya, ngerti aja susah!!

Mari kita tinggalkan kantor itu…

Mari kita lihat apa yang terjadi pada John. Wajar bila John bingung, apakah harus memberikan es krim atau tidak. Karena ternyata seteah dipelajari, banyak dari kita yang tidak tepat saat mengambil keputusan. Bahkan menurut Chip & Dan Heath pengarang ‘Decisive’, separoh dari keputusan para eksekutif adalah keputusan yang salah.

Pertama, keputusan kita sering kali diliputi oleh emosi kita. Emosi sesaat yang membuat keputusan menjadi sesat. Lalu setelah berhasil mengatasi emosi itu, kita mengandalkan logika untuk mengambil keputusan.

Logika yang kita kira benar, namun ternyata sering kali salah. Salah karena data yang kita kumpulkan kurang lengkap, karena kita menanyakan pertanyaan yang salah, karena kita hanya mengumpulkan data yang mendukung keputusan kita. Salah karena kita sering kali terlalu dekat dengan masalah sehingga tidak lagi bisa memutuskan dengan tepat. Salah karena rasa takut kehilangan terhadap apa yang sudah kita miliki dan banyak hal lain.Apa yang mendorong keputusan kita

Saat kita sudah berhasil mengatasi emosi sesaat dan logika yang tidak sempurna, barulah kita bisa melihat apa sebenarnya yang mendorong kita. Apa sebenarnya nilai dasar kita. Apa sebenarnya visi misi kita. Kenapa dan untuk apa perusahaan ini didirikan sebenarnya.

Namun bagaimana mau berpatokan pada visi misi, bila visi misi tidak bisa dimengerti? Bila yang sungguh-sungguh bisa mengerti visi misi itu hanyalah sang pendiri dan Yang Maha Kuasa?

Kalimat yang simpel saja bisa gampang disalah-artikan, apalagi kalimat yang rumit?

Padahal visi misi itu menjadi patokan untuk semua pengambilan keputusan, untuk pembuatan SOP, untuk menentukan siapa orang yang kita rekrut, siapa orang yang kita pecat.

Saat terjadi masalah di ‘lapangan’, saat John terlambat, saat supervisor memarahi, saat Tommy kecil menjatuhkan es krimnya, saat itu Nilai Dasar perusahaan bisa menyadarkan kita kembali.

Namun sayangnya nilai itu tidak pernah terbaca oleh kebanyakan karyawan. Nilai itu tidak pernah bisa dimengerti oleh para karyawan.

Siang itu John menarik nafasnya panjang-panjang, lalu berdoa dalam hati, “Ya Allah, untuk apa aku bekerja? Untuk siapa aku bekerja? Apa tujuanku dan perusahaanku di taman siang hari ini?” Dia tidak tau apa tujuan perusahaannya, namun dia tau apa kata hatinya.

Maka dia membuka tutup tong es krimnya, menyendok dua sekop es krim dan berlari mengejar Andrew dan Tommy kecil.

Salam Dahsyat!!

Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website: Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin.

Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com